Sabtu, 18 Januari 2014

Sekilas Tentang Museum Zoologi



Sejarah Singkat Museum Zoologi
   
     Berdirinya museum zoologi merupakan gagasan dari J.C. Koningsberger, seorang ahli botani berkebangsaan Jerman yang menetap di Belanda. Pada awal pembangunannya tahun 1894, tempat ini berfungsi sebagai laboratorium zoologi yang menjadi wadah penelitian yang berkaitan dengan pertanian dan zoologi, meliputi kegiatan inventarisasi fauna indonesia dengan nama Landbouw Zoologisch Laboratorium. Seiring dengan perkembangannya, Museum Zoologi mengubah namanya sesuai dengan fungsinya. Berikut ini perubahan nama dari masa ke masa :





Tahun Nama Lembaga
1894 Landbouw Zoologish Laboratorium
1898 Landbouw Zoologish Museum
1906 - 1909 Zoologisch Museum en Werkplaats
1910 - 1942 Zoologisch Museum en Laboratorium
1942 - 1945 Dobutsu Hakubutsukan
1946 - 1947 Zoologisch Museum en Laboratorium
1947 - 1954 Museum Zoologicium Bogoriense
1955 - 1962 Lembaga Museum  Zoologicium Bogoriense
1962 - 1986 Museum Zoologicium Bogoriense
1987 - 2000 Balai Penelitian & Pengembangan Zoologi
2000 - sekarang Bidang Zoologi - Pusat Penelitian Biologi ( LIPI )

Dan yang di bawah ini gedung museum zoologi dari masa ke masa :




1. Museum zoologi pada masa 1920



2. Museum zoologi pada masa 1956

 
3. Museum zoologi pada masa 1985


4. Museum zoologi pada masa 1990





Di museum zoologi memiliki beberapa koleksi-koleksi fauna yaitu :

1. Burung Hantu Serak Jawa


Klasifikasi ilmiah
Kerajaan:Animalia
Filum:Chordata
Kelas:Aves
Ordo:Strigiformes
Famili:Tytonidae
Upafamili:Tytoninae
Genus:Tyto
Spesies:T. alba
Nama binomial
Tyto alba
(Scopoli, 1769)

Serak jawa ( Tyto alba ) merupakan spesies burung berukuran besar (34cm), mudah dikenali sebagai burung hantu putih. Wajah berbentuk jantung, warna putih dengan tepi coklat. Mata menghadap kedepan, merupakan ciri yang mudah dikenali. Bulu lembut, berwarna tersamar, bagian atas berwarna kelabu terang dengan sejumlah garis gelap dan bercak pucat tersebar pada bulu. Ada tanda mengkilat pada sayap dan punggung. Bagian bawah berwarna putih dengan sedikit bercak hitam, atau tidak ada. Bulu pada kaki jarang-jarang. Kepala besar, kekar dan membulat. Iris mata berwana hitam. Paruh tajam, menghadap kebawah, warna keputihan. Kaki warna putih kekuningan sampai kecoklatan. Jantan-betina hampir sama dalam ukuran dan warna meski betina seringkali lebih besar 25%. Betina dan hewan muda umumnya punya bercak lebih rapat.
Walaupun telah dikenal jauh sebelumnya, Tyto alba baru dideskripsikan secara resmi padatahun 1769 oleh seorang naturalis berkebangsaan Italia bernama Giovanni Scopoli. Nama spesies alba dipilih berdasarkan warna bulu badannya yang putih. Nama lain dari Tyto alba antara lain adalah : burung hantu muka monyet, burung hantu kerdil, burung hantu emas, burung hantu perak, burung hantu malam, burung hantu tikus, burung hantu pemekik, burung hantu jerami dan burung hantu cantik.


Morfologi ( Ciri Umum )

Badan bagian atas berwarna abu-abu terang dengan garis-garis gelap dan bintik-bintik pucat yang tersebar pada bulu-bulunya. Pada sayap dan punggung terdapat bintik-bintik lusuh. Badan bagian bawah berwarna putih dengan beberapa bintik-bintik hitam (terkadang tidak ada). Bulu-bulu pada kaki bagian bawah biasanya jarang (tipis). Bentuk muka menyerupai jantung berwarna putih dengan tepi berwarna kecoklatan dan pada tepi lingkar mata terdapat bintik- bintik berwarna coklat. Iris mata berwarna hitam. Kaki berwarna putih kekuning-kuningan sampai kecoklatan Ukuran tubuh jantan dan betina biasanya hampir serupa. Betina dan anakan lebih banyak memiliki bintik-bintik gelap.

Ukuran tubuh
Ukuran tubuh antara jantan dan betina hampir serupa, namun demikian biasanya betina memiliki ukuran tubuh sedikit lebih besar daripada jantan.

Ukuran tubuh betina:
·         Panjang badan: 34 – 40 cm
·         Rentang sayap: ± 110 cm
·         Berat badan: ± 570 gr

Ukuran tubuh jantan:
·         Panjang badan: 32 – 38 cm
·         Rentang sayap: ± 107 cm

·         Berat badan: ± 470 gr

Fisiologi ( ciri khusus )

Kemampuan terbang
Strategi perburuan dari Tyto alba sangat berbeda dengan jenis-jenis burung predator yang lain. Burung-burung predator lain, mengandalkan kecepatan dan kejutan untuk mendatangi dan menangkap mangsa. Dalam perburuan mangsa, Tyto alba sangat bergantung pada cara terbangnya yang tanpa suara dan pada pendengarannya yang sangat tajam. Suara yang timbul akibat pergerakan sayap, diredam oleh semacam lapisan yang tampak seperti beludru pada permukaan bulu-bulu sayapnya. Selain itu, tepi sayap Tyto alba memiliki jumbai-jumbai yang sangat halus yang juga berfungsi untuk meredam bunyi kepakan sayap. Cara terbang yang tanpa suara ini menyebabkan mangsa tidak mampu mendengar pergerakan Tyto alba dan juga membantu pendengaran Tyto alba sendiri.

Indera penglihatan
Mata Tyto alba sangat peka sehingga dapat melihat pada kegelapan. Untuk mendeteksi lokasi mangsa, mata dan pendengaran Tyto alba bekerja bersama-sama dalam suatu harmoni yang serasi. Bola mata Tyto alba diketahui memiliki kedudukan tetap pada tempatnya, menghadap ke depan dan memberikan penglihatan yang bersifat binokuler dan stereoskopik. Kedudukan mata yang tetap memiliki kelemahan, terutama dalam hal mendeteksi lingkungan sekitar. Untuk menanggulangi hal ini, Tyto alba memiliki leher yang sangat fleksibel sehingga kepalanya dapat diputar 270 derajat dalam empat arah: ke arah kiri, kanan, atas dan bawah. Mata Tyto alba memiliki adaptasi yang baik untuk melihat pada intensitas cahaya yang sangat rendah. Hal ini ditandai dengan ukuran pupil yang sangat besar dan retina yang tersusun dari sel-sel yang sangat sensitif, yang memberikan efek penglihatan monokromatik. Kemampuan melihat dalam gelap ini dikatakan sekitar 3 – 4 kali kemampuan manusia. Bola mata Tyto alba dilengkapi dengan lapisan membran penutup yang dapat dibuka dan ditutup. Gerakan buka-tutup dari membran tersebut berfungsi untuk membersihkan bola mata dari debu dan kotoran yang menempel pada permukaan mata.

Indera pendengaran
Tyto alba memiliki susunan letak lubang telinga yang cukup unik, karena tidak simetris dimana letak pada kepala antara satu dengan yang lainnya tidak sama tinggi dan dengan sudut yang berbeda pula. Lubang-lubang telinga tersebut diselubungi oleh suatu lapisan fleksibel yang tersusun dari bulu-bulu pendek seperti bulu-bulu yang menyelimuti lingkar mukanya. Lapisan tersebut berfungsi sebagai keping pemantul suara. Kelengkapan pendengaran seperti itu membuat Tyto alba memiliki pendengaran yang peka dan bersifat mengarah (direksional) terhadap sumber bunyi, sehingga Tyto alba mampu mendeteksi lokasi mangsa (dalam arah dan jarak) secara tepat walau dalam keadaan gelap gulita sekalipun. Pada Tyto alba columella di bagian tengah telinga, berfungsi mengirimkan getaran dari membrane tympani ke bagian telinga dalam, koklea ada meskipun tidak berbentuk spiral sempurna.

Perilaku makan
Tyto alba memiliki kebiasaan makan yang unik. Tergantung ukuran mangsa yang tertangkap, Tyto alba dapat menelan utuh mangsanya atau membaginya dalam ukuran yang lebih kecil sebelum ditelan. Daging dan bagian yang lunak dari tubuh mangsa akan dicerna, sementara bulu-bulu dan tulang belulang tidak dicerna dan kemudian secara berkala dimuntahkan kembali dalam bentuk pellet.

2. Julang 
     
Kerajaan:
Filum:
Kelas:
Ordo:
Famili:
Genus:
Spesies:
A. cassidix
Aceros cassidix
(Temminck, 1823)

Julang sulawesi (Aceros cassidix) adalah spesies burung rangkong dalam famili Bucerotidae. Burung ini endemik di Sulawesi. Di daerah Minahasa. burung ini dikenal dengan nama Burung Taong.

Deskripsi
Panjang tubuh dapat mencapai 100 cm pada jantan, dan 88 cm pada betina. Julang Sulawesi memiliki tanduk (casque) yang besar di atas paruh, berwarna merah pada jantan dan kuning pada betina. Paruh berwarna kuning dan memiliki kantung biru pada tenggorokan.

Habitat dan Kebiasan
Julang sulawesi menghuni hutan primer dan hutan rawa. Terkadang ditemukan dihutan sekunder yang tinggi dan petak hutan yang tersisa dengan lahan pertanian yang luas. Terkadang pula mengunjungi hutan bakau. Julang Sulawesi biasa terbang di atas dan sekeliling tajuk dalam kelompok-kelompok kecil yang terpisah, namun terkadang berkelompok sampai lima puluh individu atau lebih. Ketika terbang sayapnya berbunyi berisik seperti mesin uap.

Persebaran
Julang sulawesi adalah spesies endemik di Pulau Sulawesi dan beberapa pulau satelit Sulawesi seperti Pulau Lembeh, Kepulauan Togian, Pulau Muna, dan Pulau Butung.


3. Mambruk Victory


Klasifikasi ilmiah
Kerajaan:Animalia
Filum:Chordata
Kelas:Aves
Ordo:Columbiformes
Famili:Columbidae
Genus:Goura
Spesies:G. victoria
Nama binomial
Goura victoria
(Fraser, 1844)


Mambruk Victoria atau dalam nama ilmiahnya Goura victoria adalah sejenis burung yang terdapat di dalam suku burung Columbidae. Mambruk Victoria adalah salah satu dari tiga burung dara mahkota dan merupakan spesies terbesar di antara jenis-jenis burung merpati.
Burung Mambruk Victoria berukuran besar, dengan panjang mencapai 74 cm, dan memiliki bulu berwarna biru keabu-abuan, jambul seperti kipas dengan ujung putih, dada merah marun keunguan, paruh abu-abu, kaki merah kusam, dan garis tebal berwarna abu-abu di sayap dan ujung ekornya. Di sekitar mata terdapat topeng hitam dengan iris mata berwarna merah. Burung jantan dan betina serupa.
Populasi Mambruk Victoria tersebar di hutan dataran rendah, hutan sagu dan hutan rawa di bagian utara pulau Irian, yang juga termasuk pulau Yapen, pulau Biak, dan pulau-pulau kecil disekitarnya.
Burung Mambruk Victoria bersarang di atas dahan pohon. Sarangnya terbuat dari ranting-ranting dan dedaunan. Burung betina biasanya menetaskan sebutir telur berwarna putih.
Mambruk Victoria adalah spesies terestrial. Burung ini mencari makan di atas permukaan tanah. Pakan burung Mambruk Victoria terdiri dari aneka biji-bijian dan buah-buahan yang jatuh di tanah. Spesies ini biasanya hidup berpasangan atau dalam kelompok.
Nama dari spesies ini memperingati seorang ratu Inggris, Victoria dari Britania Raya.
Mambruk Victoria diburu untuk diambil daging dan bulunya. Spesies ini sudah jarang ditemui di daerah dekat populasi manusia. Mambruk Victoria dievaluasikan sebagai rentan di dalamIUCN Red List dan didaftarkan dalam CITES Appendix II.

4. Kuau


Klasifikasi ilmiah
Kerajaan:Animalia
Filum:Chordata
Kelas:Aves
Ordo:Galliformes
Famili:Phasianidae
Genus:Argusianus
Rafinesque, 1815

Kuau adalah unggas yang tergabung dalam marga Argusianus. Terdapat dua jenis kuau:kuau raja (Argusianus argus) dan kuau bergaris ganda (Argusianus bipunctatus). Keduanya berasal dari Kepulauan Nusantara. Kuau bergaris ganda tidak pernah ditemukan di alam, deskripsinya didasarkan pada sejumlah bulu yang dikirim ke London dan dipertelakan pada tahun 1871. IUCN memasukkannya dalam status punah.
Selain untuk Argusianus, nama kuau juga diberikan pada kuau kerdil Malaya (Polyplectron malacense). Untuk kuau yang satu ini, statusnya dalam IUCN adalah rentan/VU.

Karakteristik
Burung ini mudah dikenali karena memiliki tubuh yang indah dan spesifik. Tubuh yang jantan lebih besar daripada betina. Beratnya adalah 11,5 kg dan panjangnya adalah 2 meter. Umumnya, berwarna dasar kecoklatan dan dengan bundaran bundaran kecoklatan. Kulit disekitar kepala dan leher kuau jantan berwarna kebiruan. Bagian belakang jambul betina, ditumbuhi jambul yang lembut. Warna kaki kuau betina kemerahan dan tidak mempunyai taji/susuh.Suara burung kuau terdengar hingga lebih dari 1 mil.

Habitat
Burung ini suka hidup di kawasan hutan, mulai dari dataran rendah sampai pada ketinggian sekitar 1300m di atas permukaan laut. Penye­baran burung ini adalah di Sumatera dan Kalimantan. Juga terdapat di Asia Tenggara.Mereka jarang dijumpai di hutan sekunder dan bekas tebangan sampai ketinggian 1.300 meter.

Makanan
Makanannya terdiri dari buah-buahan yang jatuh, biji-bijian, siput, semut dan berbagai jenis serangga. Burung ini juga suka mencari sumber air untuk minum sekitar jam sebelas siang.

SEKIAN DAN TERIMA KASIH


Tidak ada komentar:

Posting Komentar